"Membuat Kualitas melalui Kata-kata: Perjalanan Seorang Blogger ke Dunia Sistem Manajemen ISO"

Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Masa Orientasi Sekolah: Tradisi Penghukuman yang Perlu Direvisi


Penghukuman Kakak Kelas Terhadap Adik Kelas

Pendahuluan

Fenomena penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas sering kali menjadi sorotan dalam dunia pendidikan. Praktik ini, yang kadang terjadi selama Masa Orientasi Sekolah (MOS) atau di luar kegiatan resmi sekolah, menimbulkan berbagai dampak bagi siswa. Artikel ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam mengenai bentuk-bentuk penghukuman ini, dampaknya, serta solusi yang dapat diterapkan.

Bagian 1: Penghukuman Saat Masa Orientasi Sekolah (MOS)

Definisi MOS

Masa Orientasi Sekolah (MOS) adalah periode di mana siswa baru diperkenalkan dengan lingkungan sekolah, aturan, dan budaya sekolah. Tujuannya adalah membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.

Ketentuan Dasar MOS

Jika penghukuman dilakukan saat terselenggaranya perpeloncoan di sekolah, ketentuan dasar mengenai pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru yang dibenarkan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru (Permendikbud 18/2016). Dalam Permendikbud 18/2016 tersebut, antara lain berisi ketentuan bahwa dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru perlu dilakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan merupakan salah satu contoh aktivitas yang dilarang dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.

Bentuk Penghukuman: 

Selama MOS, penghukuman bisa berupa tugas fisik yang berat, hukuman verbal, atau bahkan tindakan yang merendahkan martabat siswa baru. Contoh-contohnya termasuk push-up berlebihan, berteriak di depan umum, atau tugas-tugas yang tidak masuk akal.

Dampak Positif dan Negatif:

  • Positif: Beberapa pihak berpendapat bahwa penghukuman dapat meningkatkan kedisiplinan dan rasa hormat terhadap aturan.
  • Negatif: Namun, dampak negatifnya jauh lebih signifikan, termasuk trauma psikologis, rasa takut, dan kebencian terhadap sekolah.

Bagian 2: Penghukuman di Luar Masa Orientasi Sekolah

Situasi dan Kondisi

Kemungkinan yang kedua adalah penghukuman itu dilakukan tidak saat MOS, melainkan pada waktu biasa. Penghukuman ini bisa terjadi dalam berbagai situasi sehari-hari, seperti saat siswa melanggar aturan sekolah atau tidak memenuhi ekspektasi kakak kelas.

Bentuk Penghukuman: 

Bentuk penghukuman di luar MOS bisa beragam, mulai dari hukuman fisik, verbal, hingga sosial seperti pengucilan atau intimidasi. Misalnya, siswa baru atau adik kelas bisa dimaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan atau dipaksa melakukan tugas-tugas yang merendahkan. Contoh siswa baru atau adik kelas  “disiksa” dengan cara disuruh push up 100 kali oleh kakak kelas. Mengingat siswa baru berusia saat ini masih di bawah 18 (delapan belas) tahun sehingga dikategorikan sebagai anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).

Ketentuan Pidana dan Perdata

Terkait hal ini, ada ketentuan pidana dan perdata yang dapat diterapkan. Jika penghukuman berupa makian yang menyakitkan, dan bukan dengan “menuduh suatu perbuatan”, maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat Pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.

Secara perdata:

Orangtua juga dapat meminta ganti rugi materiil melalui gugatan perdata. Dengan bukti adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana tersebut, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan:

“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”

Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Ditinjau Berdasarkan Hukum Perdata

Namun, dilihat dari segi hukum perdata, dalam kasus tersebut, tindakan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelas dapat berpotensi merugikan. Pihak sekolah atau guru-guru juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian tersebut. Hal ini karena menurut Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata berbunyi:

“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.”

Dengan mengacu pada pasal di atas, maka pada prinsipnya guru-guru di sekolah yang bersangkutan ikut bertanggung jawab atas perbuatan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelasnya.

Contoh Kasus

Sebagai contoh, penerapan salah satu pasal yang diuraikan di atas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. Dalam putusan tersebut, diketahui bahwa terdakwa adalah kakak kelas dari korban yang bersekolah di sekolah yang sama. Terdakwa melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, serta penganiayaan terhadap adik kelasnya dengan cara memukul korban di bagian bawah mata dan di kepala bagian depan hingga berdarah. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), sebenarnya pihak keluarga dan sekolah berupaya agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak sekolah sudah berusaha untuk mendamaikan permasalahan ini dan menganggap persoalannya telah selesai, sehingga korban maupun terdakwa dapat belajar dengan tenang. Namun, akhirnya kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "melakukan penganiayaan terhadap anak" berdasarkan Pasal 80 ayat  (1) UU Perlindungan Anak dan hakim menjatuhkan sanksi tindakan kepada terdakwa berupa mengembalikan kepada orang tua.

Dampak Psikologis dan Sosial

Penghukuman ini dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti rendahnya rasa percaya diri, gangguan kecemasan, dan masalah sosial lainnya. Siswa yang mengalami penghukuman ini mungkin merasa terisolasi dan tidak nyaman di lingkungan sekolah, yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Bagian 3: Perspektif Hukum dan Etika

Peraturan Sekolah: Banyak sekolah memiliki aturan yang melarang penghukuman fisik dan verbal terhadap siswa. Aturan ini biasanya tercantum dalam tata tertib sekolah atau kebijakan anti-kekerasan yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Namun, implementasi aturan ini sering kali lemah karena beberapa alasan:

  • Kurangnya Pengawasan: Pengawasan yang tidak memadai dari pihak sekolah dapat menyebabkan pelanggaran aturan tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti dengan serius.
  • Budaya Sekolah: Di beberapa sekolah, budaya penghukuman mungkin sudah mengakar dan dianggap sebagai cara yang sah untuk mendisiplinkan siswa. Hal ini membuat aturan yang ada sulit diterapkan.
  • Kurangnya Pelatihan: Guru dan staf sekolah mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang memadai tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik tanpa menggunakan kekerasan.
  • Ketidakjelasan Aturan: Aturan yang tidak jelas atau tidak spesifik dapat menyebabkan kebingungan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Ini bisa membuat guru dan siswa tidak yakin tentang batasan-batasan yang ada.

Pandangan Hukum: Secara hukum, tindakan penghukuman yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa ketentuan hukum yang relevan meliputi:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Penghinaan dan kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan (Pasal 315) dan penganiayaan (Pasal 351).
  • Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, dan Pasal 80 menetapkan sanksi pidana bagi pelanggar.
  • Hak Asasi Manusia: Penghukuman yang berlebihan melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.

Etika Pendidikan: Dari perspektif etika, penghukuman bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya mendukung perkembangan positif siswa. Beberapa prinsip etika yang relevan meliputi:

  • Kesejahteraan Siswa: Pendidikan harus memprioritaskan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Penghukuman yang berlebihan dapat menyebabkan trauma, stres, dan rasa takut, yang semuanya merugikan kesejahteraan siswa.
  • Pengembangan Karakter: Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa, termasuk nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan empati. Penghukuman yang keras tidak mendukung pengembangan nilai-nilai ini dan malah dapat menanamkan rasa dendam dan kebencian.
  • Lingkungan Belajar yang Positif: Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan mendukung di mana siswa merasa dihargai dan didorong untuk belajar. Penghukuman yang berlebihan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar dan dapat menghambat prestasi akademis siswa.
  • Keadilan dan Kesetaraan: Etika pendidikan menekankan pentingnya perlakuan yang adil dan setara terhadap semua siswa. Penghukuman yang berlebihan sering kali tidak adil dan dapat memperburuk ketidaksetaraan di dalam sekolah.

Dengan memahami perspektif hukum dan etika ini, sekolah dapat lebih baik dalam merancang dan menerapkan kebijakan yang mendukung lingkungan belajar yang positif dan aman bagi semua siswa

Bagian 4: Solusi dan Rekomendasi

Pendekatan Alternatif: 

Metode disiplin yang lebih positif dapat menggantikan penghukuman yang bersifat fisik atau verbal. Beberapa pendekatan yang bisa diterapkan antara lain:

  • Konseling: Melibatkan konselor sekolah untuk membantu siswa memahami kesalahan mereka dan mencari solusi bersama. Konseling dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang lebih baik.
  • Mediasi: Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan konflik antara kakak kelas dan adik kelas. Mediasi dapat membantu kedua belah pihak memahami perspektif masing-masing dan mencapai kesepakatan yang adil.
  • Pendekatan Restoratif: Pendekatan ini fokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan penghukuman. Siswa yang melakukan kesalahan diajak untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kerugian yang telah mereka sebabkan. Ini bisa melibatkan permintaan maaf, kerja sosial, atau kegiatan lain yang bermanfaat bagi komunitas sekolah.

Peran Guru dan Orang Tua: 

Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam mencegah penghukuman yang berlebihan. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Dukungan Emosional: Guru dan orang tua harus memberikan dukungan emosional kepada siswa, membantu mereka merasa aman dan dihargai. Ini bisa dilakukan melalui komunikasi yang terbuka dan empati.
  • Bimbingan Positif: Memberikan bimbingan yang positif dan konstruktif kepada siswa tentang cara berperilaku yang baik. Ini bisa melibatkan pengajaran tentang nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan kerjasama.
  • Pengawasan Aktif: Guru dan orang tua harus aktif mengawasi interaksi antara kakak kelas dan adik kelas untuk mencegah terjadinya penghukuman yang tidak pantas. Mereka juga harus siap untuk campur tangan jika melihat tanda-tanda kekerasan atau intimidasi.

Kebijakan Sekolah: 

Sekolah perlu menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas terhadap penghukuman, serta menyediakan pelatihan bagi guru dan siswa tentang cara-cara mendisiplinkan yang positif. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Kebijakan Anti-Kekerasan: Sekolah harus memiliki kebijakan yang jelas melarang segala bentuk kekerasan dan penghukuman yang tidak mendidik. Kebijakan ini harus disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah.
  • Pelatihan Guru: Guru perlu mendapatkan pelatihan tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik di antara siswa. Pelatihan ini bisa mencakup teknik konseling, mediasi, dan pendekatan restoratif.
  • Program Pendidikan Karakter: Sekolah bisa mengembangkan program pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai positif kepada siswa. Program ini bisa melibatkan kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, dan diskusi kelompok.

Dengan menerapkan solusi dan rekomendasi ini, diharapkan lingkungan sekolah menjadi lebih aman dan kondusif bagi semua siswa, serta mengurangi praktik penghukuman yang berlebihan

Kesimpulan

Penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas adalah masalah serius yang memerlukan perhatian khusus. Dampak negatifnya terhadap psikologis dan sosial siswa sangat signifikan, dan oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari sekolah, guru, orang tua, dan siswa untuk mengatasi masalah ini. Dengan pendekatan yang lebih positif dan mendukung, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan kondusif bagi semua siswa.

Daftar Pustaka

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Indonesia).
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). (Indonesia).
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. (Indonesia).
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
  5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
  6. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Indonesia).
  7. Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. (Indonesia).

Jerat Pasal Bullying: Langkah Hukum untuk Sekolah Bebas Kekerasan


 

Image | Freepik.com

Pendahuluan

Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap individu lain yang dianggap lebih lemah. Bullying dapat berupa fisik, verbal, atau sosial, dan sering terjadi di lingkungan sekolah. Penanganan bullying sangat penting karena dampak negatifnya yang signifikan terhadap korban, termasuk trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, dan masalah kesehatan mental.

Latar Belakang Hukum

Di Indonesia, bullying diatur dalam beberapa pasal hukum yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Salah satu pasal penting adalah Pasal 76C UU 35/2014 yang melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Pelanggaran terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 80 UU 35/2014, yang menetapkan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

  • Pasal 76C UU 35/2014: Melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak.
  • Pasal 80 UU 35/2014: Menetapkan sanksi bagi pelanggar Pasal 76C, termasuk:
    • Penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
    • Jika anak mengalami luka berat, penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
    • Jika anak meninggal dunia, penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
    • Pidana ditambah sepertiga jika pelaku adalah orang tua korban.

Langkah Hukum dalam Menangani Bullying

Proses pelaporan bullying sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dapat ditangani secara hukum. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh:

  • Melaporkan ke Polisi: Langkah pertama yang dapat diambil untuk penanganan hukum.
  • Hotline SAPA129: Masyarakat dapat melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui telepon 129 atau WhatsApp 08111-129-129 yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
  • Pengaduan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi: Jika bullying terjadi di lingkungan sekolah, pengaduan dapat dilakukan ke kementerian terkait.

Setelah laporan diterima, pihak berwenang akan melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti dan menentukan langkah penanganan yang tepat. Sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku bullying mencakup pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hukuman Pelaku Bullying di Bawah Umur

Namun, mengingat diasumsikan bahwa pelaku juga masih berusia anak atau di bawah umur, maka perlu diperhatikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Pelaku anak yang melakukan bullying tersebut merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dalam hal tindak pidana diancam pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.

Jika pelaku anak belum berusia 14 tahun, hanya dapat dikenai tindakan seperti:

  • Pengembalian kepada orang tua/wali.
  • Penyerahan kepada seseorang.
  • Perawatan di rumah sakit jiwa.
  • Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).
  • Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
  • Pencabutan surat izin mengemudi.
  • Perbaikan akibat tindak pidana.

Jenis pidana pokok bagi anak terdiri atas:

  • Pidana peringatan.
  • Pidana dengan syarat:
    • Pembinaan di luar lembaga.
    • Pelayanan masyarakat.
    • Pengawasan.
  • Pelatihan kerja.
  • Pembinaan dalam lembaga.
  • Penjara.

Jenis pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Patut dicatat, anak dijatuhi pidana penjara di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, yakni paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Kewajiban Sekolah untuk Mencegah Bullying

Sekolah sebagai tempat pendidikan memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya bullying, baik secara etis dan moral maupun secara hukum. Hal ini karena ketika para siswa berada di sekolah, sekolah bertindak sebagai “orang tua pengganti”, yang memiliki tugas untuk mendidik dan melindungi para siswa semaksimal mungkin dari segala bentuk kekerasan.

Terkait dengan kewajiban sekolah secara hukum untuk melindungi siswanya dari tindakan bullying, hal tersebut mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) UU 35/2014 yang berbunyi:

Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Lebih lanjut, Pasal 54 UU 35/2014 juga menerangkan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan tersebut dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Terhadap pihak sekolah yang tidak melakukan upaya pencegahan atau perlindungan terhadap siswa dari tindakan bullying, maka terdapat ketentuan sanksi yang diatur di dalam UU Perlindungan Anak beserta perubahannya. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.

Adapun, pengaturan mengenai tanggung jawab sekolah untuk melakukan pencegahan perilaku bullying diatur lebih lanjut di dalam Permendikbud 46/2023.

Peran Sekolah dalam Mencegah Bullying

Sekolah memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani bullying. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh sekolah antara lain:

  • Kebijakan Anti-Bullying: Implementasi kebijakan dan program anti-bullying yang jelas dan tegas.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran siswa tentang bahaya bullying dan pentingnya saling menghormati melalui pendidikan dan kampanye.
  • Dukungan Psikologis: Penyediaan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi korban bullying untuk membantu mereka pulih dari trauma.

Tantangan dan Solusi

Penegakan hukum terkait bullying di sekolah menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat dan hambatan dalam proses pelaporan. Untuk meningkatkan efektivitas penanganan bullying, beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:

  • Peningkatan Kesadaran Hukum: Melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya melaporkan kasus bullying.
  • Kerjasama Antar Lembaga: Meningkatkan kerjasama antara sekolah, kepolisian, dan lembaga terkait untuk penanganan kasus bullying.
  • Pendekatan Holistik: Menggabungkan pendekatan hukum dan pendidikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari bullying.

Kesimpulan

Bullying di sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan hukum yang tegas. Dengan adanya pasal-pasal hukum yang mengatur bullying dan langkah-langkah yang dapat diambil oleh sekolah dan masyarakat, diharapkan dapat tercipta lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan. Harapan ke depan adalah agar setiap anak dapat belajar dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Referensi

  1. Ela Zain Zakiyah, dkk. Faktor yang Mempengaruhi Remaja dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM, Vol. 4, No. 2, Juli 2017.
  2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang diakses pada 22 Februari 2024, pukul 11.00 WIB.
  3. SAPA129, yang diakses pada 22 Februari 2024, pukul 10.55 WIB.

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan wawasan yang komprehensif tentang langkah hukum untuk menangani bullying di sekolah.