"Membuat Kualitas melalui Kata-kata: Perjalanan Seorang Blogger ke Dunia Sistem Manajemen ISO"

Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Kenaikan Upah Minimum 2025: Implikasi dan Tindakan yang Harus Diambil Pemberi Kerja


Pendahuluan

Latar Belakang: Pada bulan Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi Indonesia mengeluarkan Putusan No. 168/PUU-XII/2023 sebagai tanggapan atas petisi uji materiil terhadap Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan ini mencakup ketentuan mengenai upah minimum. Menindaklanjuti putusan tersebut, Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan No. 16 tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025, yang menetapkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5%.

Tujuan Artikel: Artikel ini bertujuan untuk menginformasikan para pemberi kerja tentang implikasi kenaikan upah minimum 6,5% pada tahun 2025 dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghadapinya.

Implikasi Kenaikan Upah Minimum

  1. Dampak Ekonomi

    • Pertumbuhan Ekonomi: Kenaikan upah minimum dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan daya beli pekerja. Peningkatan daya beli ini diharapkan dapat mendorong konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi.
    • Inflasi: Di sisi lain, kenaikan upah minimum juga berpotensi meningkatkan inflasi. Peningkatan biaya produksi akibat kenaikan upah dapat diteruskan ke harga barang dan jasa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat inflasi.
  2. Dampak pada Bisnis

    • Biaya Operasional: Kenaikan upah minimum akan meningkatkan biaya tenaga kerja, yang merupakan salah satu komponen utama biaya operasional perusahaan. Pemberi kerja perlu mempertimbangkan bagaimana kenaikan ini akan mempengaruhi profitabilitas mereka.
    • Daya Saing: Untuk tetap kompetitif, perusahaan perlu mencari cara untuk mengimbangi kenaikan biaya tenaga kerja. Ini bisa melibatkan peningkatan efisiensi operasional atau inovasi dalam proses bisnis.
  3. Dampak pada Pekerja

    • Kesejahteraan Pekerja: Kenaikan upah minimum diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan standar hidup pekerja. Peningkatan pendapatan dapat membantu pekerja memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan lebih baik.
    • Motivasi dan Produktivitas: Peningkatan upah juga dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas pekerja. Pekerja yang merasa dihargai cenderung lebih termotivasi dan produktif dalam pekerjaan mereka.

Tindakan yang Harus Diambil Pemberi Kerja

  1. Evaluasi Strategi Bisnis

    • Penyesuaian Anggaran: Pemberi kerja perlu mengalokasikan anggaran untuk menutupi kenaikan upah. Ini mungkin memerlukan penyesuaian dalam anggaran tahunan dan perencanaan keuangan jangka panjang.
    • Efisiensi Operasional: Mencari cara untuk meningkatkan efisiensi operasional dapat membantu mengurangi dampak kenaikan biaya tenaga kerja. Ini bisa melibatkan otomatisasi proses, pengurangan limbah, atau peningkatan produktivitas.
  2. Komunikasi dengan Pekerja

    • Transparansi: Mengkomunikasikan perubahan upah secara jelas dan terbuka kepada pekerja sangat penting. Pekerja perlu memahami alasan di balik kenaikan upah dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi mereka.
    • Keterlibatan Pekerja: Melibatkan pekerja dalam proses penyesuaian dapat meningkatkan penerimaan dan kerjasama. Pemberi kerja dapat mengadakan pertemuan atau diskusi untuk mendengarkan masukan dari pekerja.
  3. Konsultasi dengan Ahli

    • Konsultasi Hukum: Memastikan kepatuhan terhadap peraturan baru dengan berkonsultasi pada ahli hukum sangat penting. Ini akan membantu pemberi kerja memahami kewajiban hukum mereka dan menghindari sanksi.
    • Konsultasi Keuangan: Mendapatkan saran dari ahli keuangan dapat membantu pemberi kerja mengelola dampak finansial dari kenaikan upah. Ahli keuangan dapat memberikan strategi untuk mengoptimalkan anggaran dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan.

Timeline Implementasi UMP 2025

  1. Pengumuman Resmi UMP 2025: 11 Desember 2024
  2. Pengumuman Resmi UMK 2025: 18 Desember 2024
  3. Pemberlakuan Upah Minimum 2025: 1 Januari 2025

Rumusan Kenaikan Upah Minimum

Rumus perhitungan upah minimum yang baru adalah sebagai berikut: 

Upah Minimum 2025 = Upah Minimum 2024 + 6.5% Upah Minimum 2024

Dasar Hukum

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XII/2023: Putusan ini mencakup ketentuan mengenai upah minimum dan menjadi dasar hukum bagi perubahan peraturan terkait upah minimum.
  2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2024: Peraturan ini menetapkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% untuk tahun 2025 dan mengatur mekanisme penetapannya.

Studi Kasus

Contoh Perusahaan: Sebagai contoh, perusahaan manufaktur di Jawa Timur berhasil mengelola kenaikan upah minimum sebelumnya dengan meningkatkan efisiensi produksi dan mengadopsi teknologi baru. Perusahaan ini juga mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas.

Pelajaran yang Dipetik: Dari studi kasus ini, perusahaan lain dapat belajar bahwa investasi dalam teknologi dan pelatihan pekerja dapat membantu mengimbangi kenaikan biaya tenaga kerja. Selain itu, keterlibatan pekerja dalam proses penyesuaian dapat meningkatkan penerimaan dan kerjasama.

Kesimpulan

Ringkasan Poin Utama: Kenaikan upah minimum 6,5% pada tahun 2025 memiliki implikasi signifikan bagi ekonomi, bisnis, dan pekerja. Pemberi kerja perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengelola dampak kenaikan ini, termasuk evaluasi strategi bisnis, komunikasi dengan pekerja, dan konsultasi dengan ahli.

Pernyataan Penutup: Persiapan dan penyesuaian yang tepat sangat penting untuk menghadapi kenaikan upah minimum. Dengan langkah-langkah yang tepat, pemberi kerja dapat memastikan kepatuhan terhadap peraturan baru dan menjaga daya saing bisnis mereka.

Referensi

  • Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XII/2023
  • Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2024
  • Sumber berita terkait dari Antara News dan Hukumonline

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan wawasan yang mendalam tentang implikasi kenaikan upah minimum 2025 serta tindakan yang harus diambil oleh pemberi kerja. 

Tanggung Jawab Utang Biaya Perkawinan: Suami dan Istri dalam Perspektif Hukum


Ilustrasi Pernikahan | Freepik.com


I. Pendahuluan

Dalam setiap pernikahan, terdapat banyak aspek yang perlu dipahami, salah satunya adalah tanggung jawab terhadap utang biaya perkawinan. Utang ini bisa muncul dari berbagai biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pernikahan, seperti biaya resepsi, administrasi, pakaian, undangan dan souvenir, transportasi, bulan madu, konsultasi dan perencanaan, makeup dan kecantikan, musik dan hiburan, serta dokumentasi. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tanggung jawab utang biaya perkawinan menurut perspektif hukum, khususnya di Indonesia.

II. Definisi Utang Biaya Perkawinan

Utang biaya perkawinan merujuk pada semua pengeluaran yang dikeluarkan untuk melangsungkan pernikahan. Ini mencakup biaya sewa tempat, katering, dekorasi, dan biaya administrasi lainnya. Memahami jenis-jenis biaya ini penting agar pasangan dapat merencanakan keuangan dengan baik.

III. Perspektif Hukum di Indonesia

A. Analisis Pasal 35 ayat (1) & (2) UU Perkawinan, dan Pasal 121 KUH Perdata

Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan menegaskan bahwa suami dan istri memiliki tanggung jawab bersama dalam hal utang yang diambil selama perkawinan. Ini menunjukkan bahwa utang biaya perkawinan bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tetapi merupakan tanggung jawab bersama yang harus dikelola secara kolaboratif.

Tak ada ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengatur mengenai utang bawaan atau utang bersama, termasuk utang yang timbul karena acara pernikahan. Namun demikian, jika Anda merujuk bunyi Pasal 121 KUH Perdata, sebagai berikut:

Berkenaan dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami istri, baik sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan maupun selama perkawinan.

Terkait utang, Subekti menjelaskan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), bahwa untuk menetapkan tanggung jawab mengenai suatu utang haruslah ditetapkan lebih dahulu, apakah utang itu bersifat prive (pribadi) atau suatu utang untuk keperluan bersama (gemeenschaps schuld).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk suatu utang prive (pribadi) harus dituntut kepada suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.

B. Perbandingan dengan Hukum di Negara Lain

Di beberapa negara, tanggung jawab utang dalam perkawinan diatur dengan cara yang berbeda. Misalnya, di beberapa negara barat, utang yang diambil sebelum pernikahan biasanya tidak menjadi tanggung jawab pasangan setelah menikah. Namun, di Indonesia, hukum lebih menekankan pada tanggung jawab bersama.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, tanggung jawab atas utang yang diambil sebelum pernikahan umumnya tetap menjadi tanggung jawab individu yang mengambil utang tersebut. Berikut adalah beberapa poin penting:

  1. Utang Pribadi: Utang yang diambil oleh salah satu pasangan sebelum pernikahan tetap menjadi tanggung jawab pribadi mereka setelah menikah. Misalnya, jika salah satu pasangan memiliki utang kartu kredit atau pinjaman mahasiswa sebelum menikah, utang tersebut tetap menjadi tanggung jawab mereka sendiri.

  2. Utang Bersama: Jika pasangan membuka akun kredit bersama atau salah satu pasangan menjadi penjamin (co-signer) untuk utang pasangan lainnya, maka utang tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Ini berarti kedua pasangan bertanggung jawab untuk melunasi utang tersebut.

  3. Negara dengan Hukum Properti Komunitas: Di beberapa negara bagian yang menerapkan hukum properti komunitas (seperti California, Texas, dan Washington), utang yang diambil selama pernikahan dianggap sebagai tanggung jawab bersama, tetapi utang yang diambil sebelum pernikahan tetap menjadi tanggung jawab individu.

Singapura

Di Singapura, aturan mengenai tanggung jawab utang dalam perkawinan juga menekankan pada pemisahan utang pribadi dan utang bersama:

  1. Utang Pribadi: Utang yang diambil oleh salah satu pasangan sebelum pernikahan tidak secara otomatis menjadi tanggung jawab pasangan lainnya setelah menikah. Utang tersebut tetap menjadi tanggung jawab pribadi individu yang mengambil utang.

  2. Utang Bersama: Jika pasangan memiliki akun bersama atau salah satu pasangan menjadi penjamin untuk utang pasangan lainnya, maka utang tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Ini berarti kedua pasangan bertanggung jawab untuk melunasi utang tersebut.

  3. Pengaruh Utang pada Keuangan Rumah Tangga: Meskipun utang pribadi tidak menjadi tanggung jawab pasangan lainnya, keuangan rumah tangga dapat terpengaruh oleh kewajiban pembayaran utang tersebut. Misalnya, pendapatan pasangan yang memiliki utang mungkin lebih banyak digunakan untuk membayar utang daripada untuk kebutuhan rumah tangga.

Dengan memahami aturan ini, pasangan di Amerika Serikat dan Singapura dapat lebih siap dalam mengelola keuangan mereka sebelum dan setelah menikah.

IV. Penyelesaian Utang Biaya Perkawinan

Penyelesaian utang biaya perkawinan dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pasangan dapat melakukan negosiasi untuk menentukan siapa yang akan membayar utang tersebut. Jika terjadi sengketa, alternatif penyelesaian seperti mediasi atau arbitrase dapat dipertimbangkan untuk mencapai kesepakatan yang adil.

V. Kesimpulan

Dalam mengelola utang biaya perkawinan, penting bagi suami dan istri untuk memahami tanggung jawab masing-masing. Komunikasi yang baik dan kesepakatan yang jelas akan membantu mencegah konflik di masa depan. Dengan memahami perspektif hukum, pasangan dapat lebih siap dalam menghadapi tantangan keuangan yang mungkin muncul.

VI. Saran

Untuk pasangan yang akan menikah, penting untuk merencanakan keuangan dengan matang. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat membantu kamu menyusun anggaran pernikahan:

  1. Tentukan Prioritas: Identifikasi elemen-elemen yang paling penting bagi kamu dan pasangan. Misalnya, apakah kamu lebih mementingkan venue, dekorasi, atau dokumentasi? Menentukan prioritas akan membantu mengalokasikan anggaran dengan lebih efektif.

  2. Tentukan Total Anggaran: Diskusikan dengan pasangan dan keluarga mengenai total anggaran yang tersedia. Pastikan anggaran ini realistis dan sesuai dengan kemampuan finansial.

  3. Buat Daftar Kategori Pengeluaran: Bagi anggaran ke dalam beberapa kategori utama, seperti:

    • Venue dan Dekorasi: Sewa tempat, dekorasi, bunga, dan aksesori.
    • Katering: Makanan dan minuman untuk tamu.
    • Pakaian: Gaun pengantin, jas, dan pakaian pengiring pengantin.
    • Dokumentasi: Fotografi dan videografi.
    • Undangan dan Souvenir: Pembuatan dan pengiriman undangan, serta pembelian souvenir.
    • Transportasi: Sewa mobil pengantin dan transportasi untuk tamu.
    • Hiburan: Musik, band, atau DJ.
    • Biaya Administrasi: Biaya KUA dan dokumen pernikahan lainnya.
    • Bulan Madu: Biaya perjalanan dan akomodasi.
  4. Riset dan Bandingkan Harga: Lakukan riset untuk mendapatkan penawaran terbaik dari berbagai vendor. Bandingkan harga dan layanan yang ditawarkan untuk memastikan kamu mendapatkan nilai terbaik untuk uang yang dikeluarkan.

  5. Alokasikan Anggaran untuk Setiap Kategori: Setelah mengetahui harga dari berbagai vendor, alokasikan anggaran untuk setiap kategori. Sebagai panduan umum, sekitar 45%-50% dari anggaran pernikahan biasanya dialokasikan untuk venue dan katering.

  6. Siapkan Dana Cadangan: Selalu siapkan dana cadangan sekitar 10%-15% dari total anggaran untuk mengantisipasi pengeluaran tak terduga.

  7. Gunakan Aplikasi atau Spreadsheet: Manfaatkan aplikasi perencanaan pernikahan atau spreadsheet untuk melacak pengeluaran dan memastikan anggaran tetap terkendali.

  8. Evaluasi dan Sesuaikan: Secara berkala, evaluasi anggaran dan sesuaikan jika diperlukan. Pastikan semua pengeluaran sesuai dengan rencana dan tidak melebihi anggaran yang telah ditetapkan.

Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kamu dapat menyusun anggaran pernikahan yang realistis dan memastikan semua kebutuhan terpenuhi tanpa stres keuangan. Selamat merencanakan pernikahan!

VII. Daftar Pustaka Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Referensi

  1. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa, 1984.
  2. Dollars and Sense
  3. The Balance
  4. Nolo

Masa Orientasi Sekolah: Tradisi Penghukuman yang Perlu Direvisi


Penghukuman Kakak Kelas Terhadap Adik Kelas

Pendahuluan

Fenomena penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas sering kali menjadi sorotan dalam dunia pendidikan. Praktik ini, yang kadang terjadi selama Masa Orientasi Sekolah (MOS) atau di luar kegiatan resmi sekolah, menimbulkan berbagai dampak bagi siswa. Artikel ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam mengenai bentuk-bentuk penghukuman ini, dampaknya, serta solusi yang dapat diterapkan.

Bagian 1: Penghukuman Saat Masa Orientasi Sekolah (MOS)

Definisi MOS

Masa Orientasi Sekolah (MOS) adalah periode di mana siswa baru diperkenalkan dengan lingkungan sekolah, aturan, dan budaya sekolah. Tujuannya adalah membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.

Ketentuan Dasar MOS

Jika penghukuman dilakukan saat terselenggaranya perpeloncoan di sekolah, ketentuan dasar mengenai pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru yang dibenarkan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru (Permendikbud 18/2016). Dalam Permendikbud 18/2016 tersebut, antara lain berisi ketentuan bahwa dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru perlu dilakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan merupakan salah satu contoh aktivitas yang dilarang dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.

Bentuk Penghukuman: 

Selama MOS, penghukuman bisa berupa tugas fisik yang berat, hukuman verbal, atau bahkan tindakan yang merendahkan martabat siswa baru. Contoh-contohnya termasuk push-up berlebihan, berteriak di depan umum, atau tugas-tugas yang tidak masuk akal.

Dampak Positif dan Negatif:

  • Positif: Beberapa pihak berpendapat bahwa penghukuman dapat meningkatkan kedisiplinan dan rasa hormat terhadap aturan.
  • Negatif: Namun, dampak negatifnya jauh lebih signifikan, termasuk trauma psikologis, rasa takut, dan kebencian terhadap sekolah.

Bagian 2: Penghukuman di Luar Masa Orientasi Sekolah

Situasi dan Kondisi

Kemungkinan yang kedua adalah penghukuman itu dilakukan tidak saat MOS, melainkan pada waktu biasa. Penghukuman ini bisa terjadi dalam berbagai situasi sehari-hari, seperti saat siswa melanggar aturan sekolah atau tidak memenuhi ekspektasi kakak kelas.

Bentuk Penghukuman: 

Bentuk penghukuman di luar MOS bisa beragam, mulai dari hukuman fisik, verbal, hingga sosial seperti pengucilan atau intimidasi. Misalnya, siswa baru atau adik kelas bisa dimaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan atau dipaksa melakukan tugas-tugas yang merendahkan. Contoh siswa baru atau adik kelas  “disiksa” dengan cara disuruh push up 100 kali oleh kakak kelas. Mengingat siswa baru berusia saat ini masih di bawah 18 (delapan belas) tahun sehingga dikategorikan sebagai anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).

Ketentuan Pidana dan Perdata

Terkait hal ini, ada ketentuan pidana dan perdata yang dapat diterapkan. Jika penghukuman berupa makian yang menyakitkan, dan bukan dengan “menuduh suatu perbuatan”, maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat Pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.

Secara perdata:

Orangtua juga dapat meminta ganti rugi materiil melalui gugatan perdata. Dengan bukti adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana tersebut, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan:

“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”

Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Ditinjau Berdasarkan Hukum Perdata

Namun, dilihat dari segi hukum perdata, dalam kasus tersebut, tindakan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelas dapat berpotensi merugikan. Pihak sekolah atau guru-guru juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian tersebut. Hal ini karena menurut Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata berbunyi:

“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.”

Dengan mengacu pada pasal di atas, maka pada prinsipnya guru-guru di sekolah yang bersangkutan ikut bertanggung jawab atas perbuatan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelasnya.

Contoh Kasus

Sebagai contoh, penerapan salah satu pasal yang diuraikan di atas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. Dalam putusan tersebut, diketahui bahwa terdakwa adalah kakak kelas dari korban yang bersekolah di sekolah yang sama. Terdakwa melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, serta penganiayaan terhadap adik kelasnya dengan cara memukul korban di bagian bawah mata dan di kepala bagian depan hingga berdarah. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), sebenarnya pihak keluarga dan sekolah berupaya agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak sekolah sudah berusaha untuk mendamaikan permasalahan ini dan menganggap persoalannya telah selesai, sehingga korban maupun terdakwa dapat belajar dengan tenang. Namun, akhirnya kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "melakukan penganiayaan terhadap anak" berdasarkan Pasal 80 ayat  (1) UU Perlindungan Anak dan hakim menjatuhkan sanksi tindakan kepada terdakwa berupa mengembalikan kepada orang tua.

Dampak Psikologis dan Sosial

Penghukuman ini dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti rendahnya rasa percaya diri, gangguan kecemasan, dan masalah sosial lainnya. Siswa yang mengalami penghukuman ini mungkin merasa terisolasi dan tidak nyaman di lingkungan sekolah, yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Bagian 3: Perspektif Hukum dan Etika

Peraturan Sekolah: Banyak sekolah memiliki aturan yang melarang penghukuman fisik dan verbal terhadap siswa. Aturan ini biasanya tercantum dalam tata tertib sekolah atau kebijakan anti-kekerasan yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Namun, implementasi aturan ini sering kali lemah karena beberapa alasan:

  • Kurangnya Pengawasan: Pengawasan yang tidak memadai dari pihak sekolah dapat menyebabkan pelanggaran aturan tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti dengan serius.
  • Budaya Sekolah: Di beberapa sekolah, budaya penghukuman mungkin sudah mengakar dan dianggap sebagai cara yang sah untuk mendisiplinkan siswa. Hal ini membuat aturan yang ada sulit diterapkan.
  • Kurangnya Pelatihan: Guru dan staf sekolah mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang memadai tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik tanpa menggunakan kekerasan.
  • Ketidakjelasan Aturan: Aturan yang tidak jelas atau tidak spesifik dapat menyebabkan kebingungan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Ini bisa membuat guru dan siswa tidak yakin tentang batasan-batasan yang ada.

Pandangan Hukum: Secara hukum, tindakan penghukuman yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa ketentuan hukum yang relevan meliputi:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Penghinaan dan kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan (Pasal 315) dan penganiayaan (Pasal 351).
  • Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, dan Pasal 80 menetapkan sanksi pidana bagi pelanggar.
  • Hak Asasi Manusia: Penghukuman yang berlebihan melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.

Etika Pendidikan: Dari perspektif etika, penghukuman bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya mendukung perkembangan positif siswa. Beberapa prinsip etika yang relevan meliputi:

  • Kesejahteraan Siswa: Pendidikan harus memprioritaskan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Penghukuman yang berlebihan dapat menyebabkan trauma, stres, dan rasa takut, yang semuanya merugikan kesejahteraan siswa.
  • Pengembangan Karakter: Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa, termasuk nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan empati. Penghukuman yang keras tidak mendukung pengembangan nilai-nilai ini dan malah dapat menanamkan rasa dendam dan kebencian.
  • Lingkungan Belajar yang Positif: Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan mendukung di mana siswa merasa dihargai dan didorong untuk belajar. Penghukuman yang berlebihan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar dan dapat menghambat prestasi akademis siswa.
  • Keadilan dan Kesetaraan: Etika pendidikan menekankan pentingnya perlakuan yang adil dan setara terhadap semua siswa. Penghukuman yang berlebihan sering kali tidak adil dan dapat memperburuk ketidaksetaraan di dalam sekolah.

Dengan memahami perspektif hukum dan etika ini, sekolah dapat lebih baik dalam merancang dan menerapkan kebijakan yang mendukung lingkungan belajar yang positif dan aman bagi semua siswa

Bagian 4: Solusi dan Rekomendasi

Pendekatan Alternatif: 

Metode disiplin yang lebih positif dapat menggantikan penghukuman yang bersifat fisik atau verbal. Beberapa pendekatan yang bisa diterapkan antara lain:

  • Konseling: Melibatkan konselor sekolah untuk membantu siswa memahami kesalahan mereka dan mencari solusi bersama. Konseling dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang lebih baik.
  • Mediasi: Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan konflik antara kakak kelas dan adik kelas. Mediasi dapat membantu kedua belah pihak memahami perspektif masing-masing dan mencapai kesepakatan yang adil.
  • Pendekatan Restoratif: Pendekatan ini fokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan penghukuman. Siswa yang melakukan kesalahan diajak untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kerugian yang telah mereka sebabkan. Ini bisa melibatkan permintaan maaf, kerja sosial, atau kegiatan lain yang bermanfaat bagi komunitas sekolah.

Peran Guru dan Orang Tua: 

Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam mencegah penghukuman yang berlebihan. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Dukungan Emosional: Guru dan orang tua harus memberikan dukungan emosional kepada siswa, membantu mereka merasa aman dan dihargai. Ini bisa dilakukan melalui komunikasi yang terbuka dan empati.
  • Bimbingan Positif: Memberikan bimbingan yang positif dan konstruktif kepada siswa tentang cara berperilaku yang baik. Ini bisa melibatkan pengajaran tentang nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan kerjasama.
  • Pengawasan Aktif: Guru dan orang tua harus aktif mengawasi interaksi antara kakak kelas dan adik kelas untuk mencegah terjadinya penghukuman yang tidak pantas. Mereka juga harus siap untuk campur tangan jika melihat tanda-tanda kekerasan atau intimidasi.

Kebijakan Sekolah: 

Sekolah perlu menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas terhadap penghukuman, serta menyediakan pelatihan bagi guru dan siswa tentang cara-cara mendisiplinkan yang positif. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Kebijakan Anti-Kekerasan: Sekolah harus memiliki kebijakan yang jelas melarang segala bentuk kekerasan dan penghukuman yang tidak mendidik. Kebijakan ini harus disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah.
  • Pelatihan Guru: Guru perlu mendapatkan pelatihan tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik di antara siswa. Pelatihan ini bisa mencakup teknik konseling, mediasi, dan pendekatan restoratif.
  • Program Pendidikan Karakter: Sekolah bisa mengembangkan program pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai positif kepada siswa. Program ini bisa melibatkan kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, dan diskusi kelompok.

Dengan menerapkan solusi dan rekomendasi ini, diharapkan lingkungan sekolah menjadi lebih aman dan kondusif bagi semua siswa, serta mengurangi praktik penghukuman yang berlebihan

Kesimpulan

Penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas adalah masalah serius yang memerlukan perhatian khusus. Dampak negatifnya terhadap psikologis dan sosial siswa sangat signifikan, dan oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari sekolah, guru, orang tua, dan siswa untuk mengatasi masalah ini. Dengan pendekatan yang lebih positif dan mendukung, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan kondusif bagi semua siswa.

Daftar Pustaka

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Indonesia).
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). (Indonesia).
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. (Indonesia).
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
  5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
  6. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Indonesia).
  7. Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. (Indonesia).

Jerat Pasal Bullying: Langkah Hukum untuk Sekolah Bebas Kekerasan


 

Image | Freepik.com

Pendahuluan

Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap individu lain yang dianggap lebih lemah. Bullying dapat berupa fisik, verbal, atau sosial, dan sering terjadi di lingkungan sekolah. Penanganan bullying sangat penting karena dampak negatifnya yang signifikan terhadap korban, termasuk trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, dan masalah kesehatan mental.

Latar Belakang Hukum

Di Indonesia, bullying diatur dalam beberapa pasal hukum yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Salah satu pasal penting adalah Pasal 76C UU 35/2014 yang melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Pelanggaran terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 80 UU 35/2014, yang menetapkan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

  • Pasal 76C UU 35/2014: Melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak.
  • Pasal 80 UU 35/2014: Menetapkan sanksi bagi pelanggar Pasal 76C, termasuk:
    • Penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
    • Jika anak mengalami luka berat, penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
    • Jika anak meninggal dunia, penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
    • Pidana ditambah sepertiga jika pelaku adalah orang tua korban.

Langkah Hukum dalam Menangani Bullying

Proses pelaporan bullying sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dapat ditangani secara hukum. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh:

  • Melaporkan ke Polisi: Langkah pertama yang dapat diambil untuk penanganan hukum.
  • Hotline SAPA129: Masyarakat dapat melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui telepon 129 atau WhatsApp 08111-129-129 yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
  • Pengaduan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi: Jika bullying terjadi di lingkungan sekolah, pengaduan dapat dilakukan ke kementerian terkait.

Setelah laporan diterima, pihak berwenang akan melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti dan menentukan langkah penanganan yang tepat. Sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku bullying mencakup pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hukuman Pelaku Bullying di Bawah Umur

Namun, mengingat diasumsikan bahwa pelaku juga masih berusia anak atau di bawah umur, maka perlu diperhatikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Pelaku anak yang melakukan bullying tersebut merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dalam hal tindak pidana diancam pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.

Jika pelaku anak belum berusia 14 tahun, hanya dapat dikenai tindakan seperti:

  • Pengembalian kepada orang tua/wali.
  • Penyerahan kepada seseorang.
  • Perawatan di rumah sakit jiwa.
  • Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).
  • Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
  • Pencabutan surat izin mengemudi.
  • Perbaikan akibat tindak pidana.

Jenis pidana pokok bagi anak terdiri atas:

  • Pidana peringatan.
  • Pidana dengan syarat:
    • Pembinaan di luar lembaga.
    • Pelayanan masyarakat.
    • Pengawasan.
  • Pelatihan kerja.
  • Pembinaan dalam lembaga.
  • Penjara.

Jenis pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Patut dicatat, anak dijatuhi pidana penjara di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, yakni paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Kewajiban Sekolah untuk Mencegah Bullying

Sekolah sebagai tempat pendidikan memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya bullying, baik secara etis dan moral maupun secara hukum. Hal ini karena ketika para siswa berada di sekolah, sekolah bertindak sebagai “orang tua pengganti”, yang memiliki tugas untuk mendidik dan melindungi para siswa semaksimal mungkin dari segala bentuk kekerasan.

Terkait dengan kewajiban sekolah secara hukum untuk melindungi siswanya dari tindakan bullying, hal tersebut mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) UU 35/2014 yang berbunyi:

Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Lebih lanjut, Pasal 54 UU 35/2014 juga menerangkan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan tersebut dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Terhadap pihak sekolah yang tidak melakukan upaya pencegahan atau perlindungan terhadap siswa dari tindakan bullying, maka terdapat ketentuan sanksi yang diatur di dalam UU Perlindungan Anak beserta perubahannya. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.

Adapun, pengaturan mengenai tanggung jawab sekolah untuk melakukan pencegahan perilaku bullying diatur lebih lanjut di dalam Permendikbud 46/2023.

Peran Sekolah dalam Mencegah Bullying

Sekolah memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani bullying. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh sekolah antara lain:

  • Kebijakan Anti-Bullying: Implementasi kebijakan dan program anti-bullying yang jelas dan tegas.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran siswa tentang bahaya bullying dan pentingnya saling menghormati melalui pendidikan dan kampanye.
  • Dukungan Psikologis: Penyediaan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi korban bullying untuk membantu mereka pulih dari trauma.

Tantangan dan Solusi

Penegakan hukum terkait bullying di sekolah menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat dan hambatan dalam proses pelaporan. Untuk meningkatkan efektivitas penanganan bullying, beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:

  • Peningkatan Kesadaran Hukum: Melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya melaporkan kasus bullying.
  • Kerjasama Antar Lembaga: Meningkatkan kerjasama antara sekolah, kepolisian, dan lembaga terkait untuk penanganan kasus bullying.
  • Pendekatan Holistik: Menggabungkan pendekatan hukum dan pendidikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari bullying.

Kesimpulan

Bullying di sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan hukum yang tegas. Dengan adanya pasal-pasal hukum yang mengatur bullying dan langkah-langkah yang dapat diambil oleh sekolah dan masyarakat, diharapkan dapat tercipta lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan. Harapan ke depan adalah agar setiap anak dapat belajar dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Referensi

  1. Ela Zain Zakiyah, dkk. Faktor yang Mempengaruhi Remaja dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM, Vol. 4, No. 2, Juli 2017.
  2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang diakses pada 22 Februari 2024, pukul 11.00 WIB.
  3. SAPA129, yang diakses pada 22 Februari 2024, pukul 10.55 WIB.

Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan wawasan yang komprehensif tentang langkah hukum untuk menangani bullying di sekolah.