Masa Orientasi Sekolah: Tradisi Penghukuman yang Perlu Direvisi
Penghukuman Kakak Kelas Terhadap Adik Kelas
Pendahuluan
Fenomena penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas sering kali menjadi sorotan dalam dunia pendidikan. Praktik ini, yang kadang terjadi selama Masa Orientasi Sekolah (MOS) atau di luar kegiatan resmi sekolah, menimbulkan berbagai dampak bagi siswa. Artikel ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam mengenai bentuk-bentuk penghukuman ini, dampaknya, serta solusi yang dapat diterapkan.
Bagian 1: Penghukuman Saat Masa Orientasi Sekolah (MOS)
Definisi MOS:
Masa Orientasi Sekolah (MOS) adalah periode di mana siswa baru diperkenalkan dengan lingkungan sekolah, aturan, dan budaya sekolah. Tujuannya adalah membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.
Ketentuan Dasar MOS:
Jika penghukuman dilakukan saat terselenggaranya perpeloncoan di sekolah, ketentuan dasar mengenai pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru yang dibenarkan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru (Permendikbud 18/2016). Dalam Permendikbud 18/2016 tersebut, antara lain berisi ketentuan bahwa dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru perlu dilakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan kreatif untuk mewujudkan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Memberikan hukuman kepada siswa baru yang tidak mendidik seperti hukuman yang bersifat fisik dan/atau mengarah pada tindak kekerasan merupakan salah satu contoh aktivitas yang dilarang dalam pelaksanaan pengenalan lingkungan sekolah.
Bentuk Penghukuman:
Selama MOS, penghukuman bisa berupa tugas fisik yang berat, hukuman verbal, atau bahkan tindakan yang merendahkan martabat siswa baru. Contoh-contohnya termasuk push-up berlebihan, berteriak di depan umum, atau tugas-tugas yang tidak masuk akal.
Dampak Positif dan Negatif:
- Positif: Beberapa pihak berpendapat bahwa penghukuman dapat meningkatkan kedisiplinan dan rasa hormat terhadap aturan.
- Negatif: Namun, dampak negatifnya jauh lebih signifikan, termasuk trauma psikologis, rasa takut, dan kebencian terhadap sekolah.
Bagian 2: Penghukuman di Luar Masa Orientasi Sekolah
Situasi dan Kondisi:
Kemungkinan yang kedua adalah penghukuman itu dilakukan tidak saat MOS, melainkan pada waktu biasa. Penghukuman ini bisa terjadi dalam berbagai situasi sehari-hari, seperti saat siswa melanggar aturan sekolah atau tidak memenuhi ekspektasi kakak kelas.
Bentuk Penghukuman:
Bentuk penghukuman di luar MOS bisa beragam, mulai dari hukuman fisik, verbal, hingga sosial seperti pengucilan atau intimidasi. Misalnya, siswa baru atau adik kelas bisa dimaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan atau dipaksa melakukan tugas-tugas yang merendahkan. Contoh siswa baru atau adik kelas “disiksa” dengan cara disuruh push up 100 kali oleh kakak kelas. Mengingat siswa baru berusia saat ini masih di bawah 18 (delapan belas) tahun sehingga dikategorikan sebagai anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).
Ketentuan Pidana dan Perdata:
Terkait hal ini, ada ketentuan pidana dan perdata yang dapat diterapkan. Jika penghukuman berupa makian yang menyakitkan, dan bukan dengan “menuduh suatu perbuatan”, maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat Pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.
Secara perdata:
Orangtua juga dapat meminta ganti rugi materiil melalui gugatan perdata. Dengan bukti adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana tersebut, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan:
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak:
Pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”
Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Ditinjau Berdasarkan Hukum Perdata:
Namun, dilihat dari segi hukum perdata, dalam kasus tersebut, tindakan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelas dapat berpotensi merugikan. Pihak sekolah atau guru-guru juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian tersebut. Hal ini karena menurut Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata berbunyi:
“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.”
Dengan mengacu pada pasal di atas, maka pada prinsipnya guru-guru di sekolah yang bersangkutan ikut bertanggung jawab atas perbuatan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelasnya.
Contoh Kasus:
Dampak Psikologis dan Sosial:
Bagian 3: Perspektif Hukum dan Etika
Peraturan Sekolah: Banyak sekolah memiliki aturan yang melarang penghukuman fisik dan verbal terhadap siswa. Aturan ini biasanya tercantum dalam tata tertib sekolah atau kebijakan anti-kekerasan yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Namun, implementasi aturan ini sering kali lemah karena beberapa alasan:
- Kurangnya Pengawasan: Pengawasan yang tidak memadai dari pihak sekolah dapat menyebabkan pelanggaran aturan tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti dengan serius.
- Budaya Sekolah: Di beberapa sekolah, budaya penghukuman mungkin sudah mengakar dan dianggap sebagai cara yang sah untuk mendisiplinkan siswa. Hal ini membuat aturan yang ada sulit diterapkan.
- Kurangnya Pelatihan: Guru dan staf sekolah mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang memadai tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik tanpa menggunakan kekerasan.
- Ketidakjelasan Aturan: Aturan yang tidak jelas atau tidak spesifik dapat menyebabkan kebingungan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Ini bisa membuat guru dan siswa tidak yakin tentang batasan-batasan yang ada.
Pandangan Hukum: Secara hukum, tindakan penghukuman yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa ketentuan hukum yang relevan meliputi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Penghinaan dan kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan (Pasal 315) dan penganiayaan (Pasal 351).
- Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, dan Pasal 80 menetapkan sanksi pidana bagi pelanggar.
- Hak Asasi Manusia: Penghukuman yang berlebihan melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Etika Pendidikan: Dari perspektif etika, penghukuman bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya mendukung perkembangan positif siswa. Beberapa prinsip etika yang relevan meliputi:
- Kesejahteraan Siswa: Pendidikan harus memprioritaskan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Penghukuman yang berlebihan dapat menyebabkan trauma, stres, dan rasa takut, yang semuanya merugikan kesejahteraan siswa.
- Pengembangan Karakter: Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa, termasuk nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan empati. Penghukuman yang keras tidak mendukung pengembangan nilai-nilai ini dan malah dapat menanamkan rasa dendam dan kebencian.
- Lingkungan Belajar yang Positif: Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan mendukung di mana siswa merasa dihargai dan didorong untuk belajar. Penghukuman yang berlebihan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar dan dapat menghambat prestasi akademis siswa.
- Keadilan dan Kesetaraan: Etika pendidikan menekankan pentingnya perlakuan yang adil dan setara terhadap semua siswa. Penghukuman yang berlebihan sering kali tidak adil dan dapat memperburuk ketidaksetaraan di dalam sekolah.
Dengan memahami perspektif hukum dan etika ini, sekolah dapat lebih baik dalam merancang dan menerapkan kebijakan yang mendukung lingkungan belajar yang positif dan aman bagi semua siswa
Bagian 4: Solusi dan Rekomendasi
Pendekatan Alternatif:
Metode disiplin yang lebih positif dapat menggantikan penghukuman yang bersifat fisik atau verbal. Beberapa pendekatan yang bisa diterapkan antara lain:
- Konseling: Melibatkan konselor sekolah untuk membantu siswa memahami kesalahan mereka dan mencari solusi bersama. Konseling dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang lebih baik.
- Mediasi: Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan konflik antara kakak kelas dan adik kelas. Mediasi dapat membantu kedua belah pihak memahami perspektif masing-masing dan mencapai kesepakatan yang adil.
- Pendekatan Restoratif: Pendekatan ini fokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan penghukuman. Siswa yang melakukan kesalahan diajak untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kerugian yang telah mereka sebabkan. Ini bisa melibatkan permintaan maaf, kerja sosial, atau kegiatan lain yang bermanfaat bagi komunitas sekolah.
Peran Guru dan Orang Tua:
Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam mencegah penghukuman yang berlebihan. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Dukungan Emosional: Guru dan orang tua harus memberikan dukungan emosional kepada siswa, membantu mereka merasa aman dan dihargai. Ini bisa dilakukan melalui komunikasi yang terbuka dan empati.
- Bimbingan Positif: Memberikan bimbingan yang positif dan konstruktif kepada siswa tentang cara berperilaku yang baik. Ini bisa melibatkan pengajaran tentang nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan kerjasama.
- Pengawasan Aktif: Guru dan orang tua harus aktif mengawasi interaksi antara kakak kelas dan adik kelas untuk mencegah terjadinya penghukuman yang tidak pantas. Mereka juga harus siap untuk campur tangan jika melihat tanda-tanda kekerasan atau intimidasi.
Kebijakan Sekolah:
Sekolah perlu menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas terhadap penghukuman, serta menyediakan pelatihan bagi guru dan siswa tentang cara-cara mendisiplinkan yang positif. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Kebijakan Anti-Kekerasan: Sekolah harus memiliki kebijakan yang jelas melarang segala bentuk kekerasan dan penghukuman yang tidak mendidik. Kebijakan ini harus disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah.
- Pelatihan Guru: Guru perlu mendapatkan pelatihan tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik di antara siswa. Pelatihan ini bisa mencakup teknik konseling, mediasi, dan pendekatan restoratif.
- Program Pendidikan Karakter: Sekolah bisa mengembangkan program pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai positif kepada siswa. Program ini bisa melibatkan kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, dan diskusi kelompok.
Dengan menerapkan solusi dan rekomendasi ini, diharapkan lingkungan sekolah menjadi lebih aman dan kondusif bagi semua siswa, serta mengurangi praktik penghukuman yang berlebihan
Kesimpulan
Penghukuman kakak kelas terhadap adik kelas adalah masalah serius yang memerlukan perhatian khusus. Dampak negatifnya terhadap psikologis dan sosial siswa sangat signifikan, dan oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari sekolah, guru, orang tua, dan siswa untuk mengatasi masalah ini. Dengan pendekatan yang lebih positif dan mendukung, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan kondusif bagi semua siswa.
Daftar Pustaka
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Indonesia).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). (Indonesia).
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. (Indonesia).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Indonesia).
- Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Indonesia).
- Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. (Indonesia).